Full width home advertisement

Translate

Mau Buku Perpustakaan Nasional

Sang Aspirator

Gerakan Sosial

Post Page Advertisement [Top]



"PEMIMPIN NYATA, BUKAN PEMIMPI"

FOTO : LA ASRI BERSAMA ISTRI

"Seperti apa pemimpin-pemimpin yang kita harapkan itu?
Pemimpin yang diharapkan itu harus mampu menyelaraskan pembangunan antara aspek lahiriah dan aspek bathiniah. Sehingga terjadi keseimbangan antara fisik dan bathin, dunia dan akhirat. Untuk Bisa menyelaraskan keduanya maka pembangunan harus secara jelas dan nyata di gerakkan untuk memenuhi kedua aspek ini. Tegasnya, seorang pemimpin harus menggerakkan pembangunan berbagai dimensi kehidupan sosial".

Di sebuah Rumah Kost Kompleks Perumahan BTN, kawan saya sempat berujar. Susah Bang, menulis disaat kita mengalami masalah. Namun pernyataan itu sempat ku tepis.Tuliskan semua masalah yang kamu hadapi, niscaya masalah itu akan mengalir dalam tulisan. Masalah yang kuhadapi tak seberapa besar. Tapi sekiranya jutaan manusia Indonesia memiliki  masalah yang mirip dengan masalahku. Maka betapa beratnya masalah yang diemban oleh bangsaku. Akan ada jutaan masalah yang tertampung di dalam negeriku. Namun jika kuuraikan. Beban masalah ini akan mengalir ketika semua sudah termuat dalam tulisan. Itulah sepenggal tanggapanku ketika mendengar pernyataan kawanku tadi.

Cerita berlanjut, Semua masalah yang dialami bangsaku tak mampu kutuliskan seutuhnya. Namun ku mencoba mengambil beberapa sampel permasalahan yang paling membebani bangsaku. Salah satunya yang lebih riskan adalah masalah kepemimpinan. Pemimpin kita khususnya di daerah-daerah, dewasa ini mengalami krisis kepercayaan sekaligus tak punya visi mencerdaskan dan memanusiakan manusia. Mereka hanya memikirkan paket kesejahteraan fisik yang tak berujung. 

Semua paket hanya ditujukan untuk membangun kesejahteraan material. Orientasinya menumpuk harta kekayaan dengan menguras semua sumber daya alam kita. Bukan mendistribusikan secara merata. Padahal keadaan negara semakin memburuk. Negara memiliki utang yang maha dahsyat.  Seperti dikutip dari laman BI.go.id, Jakarta Selasa (17/5/2016) Utang Luar Negeri Indonesia yang dicatat oleh Bank Indonesia pada akhir kuartal I-2016 sebesar USD316,0 Miliar atau sebesar 4.205, 96 Triliun Rupiah (13. 310 per USD). Utang ini akan semakin bertambah kalau perilaku pemimpin-pemimpin masih saja seperti ini. Jika 514 Pemimpin daerah di Kabupaten/Kota, dan 34 Pemimpin di Propinsi berperilaku layaknya seorang penguras kekayaan negara. Maka diperkirakan Kekayaan kita akan habis dan tak mampu membayar utang negara.  Pada akhirnya generasi bangsa yang belum lahir pun ikut menanggung utang negara.

Padahal sebuah negara atau sebuah daerah akan makmur kalau saja pemimpin-pemimpinnya mau mendistribusikan kemakmuran di tengah-tengah masyarakatnya. Bukan sekedar mendistribusikan janji-janji kemakmuran. Masyarakat kita sudah kenyang dengan janji sehingga tak pernah merasakan nikmatnya sebuah kemakmuran. Lebih ironisnya Hampir semua pemimpin-pemimpin kita mengklaim “kami telah sukses membangun paket-paket kesejahteraan”.   Namun semua itu adalah bangunan mimpi kesejahteraan. 

Rasanya kita hanya sejahtera dalam lamunan. Karena tolak ukur kesejahteraan yang sering menjadi jargon para pemimpin kita hanya sebatas mimpi belaka. Misalnya Kalau di Wakatobi kita kenal “Surga Nyata di Bawah Laut”. Namun sebagian besar masyarakatnya mengatakan kalau di Laut terdapat kenikmatan Surga maka di daratannya neraka. Ini sepenggal cerita yang sering didengung-dengungkan sebagian besar masyarakat Wakatobi. Di Kota Kendari kita kenal dengan “Kota Bertakwa”. Namun kenyataannya tak demikian. Didalam Kota justru bertebaran Tempat Hiburan Malam (THM). Begitu pula di daerah-daerah lain. Ini semua menunjukkan bahwa visi yang begitu mulia dari pemimpin-pemimpin kita tak selaras dengan kenyataannya.

Butuh Pemimpin Nyata - Visioner dan Menggerakkan

Mengurai permasalahan kepemimpinan tak akan pernah berakhir. Apalagi pemimpin yang di lahirkan di alam demokrasi ini. Banyak faktor yang menjadi penentunya. Kadang kita diperhadapkan pada sebuah dilema. Kita tak hanya sekedar butuh pemimpin yang ideal tapi kita juga mestinya menjadi pemilih yang ideal. Pemilih yang ideal itu adalah pemilih yang mampu menentukan dan memastikan pilihannya secara sadar pada pemimpin yang ideal. Meskipun sulit untuk melihat dan menemukan pemimpin yang ideal di alam demokrasi ini. Tapi kita selalu berikhtiar di tengah hiruk pikuk demokrasi ini. Akan muncul pemimpin-pemimpin yang mendekati harapan kita. Seperti apa pemimpin-pemimpin yang kita harapkan itu?

Pemimpin yang diharapkan itu harus mampu menyelaraskan pembangunan antara aspek lahiriah dan aspek bathiniah. Sehingga terjadi keseimbangan antara fisik dan bathin, dunia dan akhirat. Untuk Bisa menyelaraskan keduanya maka pembangunan harus secara jelas dan nyata di gerakkan untuk memenuhi kedua aspek ini. Tegasnya, seorang pemimpin harus menggerakkan pembangunan berbagai dimensi kehidupan sosial, diantaranya:
Pertama, Pembangunan religiusitas Sosial. Pembangunan ini ditekankan pada aspek pembentukan mental dan karakter masyarakat yang religius. Untuk bisa membangun mental yang sehat dan karakter masyarakat yang religius maka pemimpin itu harus lebih dulu melaksanakannya. Sehingga pemimpin akan menjadi teladan bagi masyarakatnya.
Kedua, Pembangunan kecerdasan sosial. Seorang pemimpin harus mampu mecerdaskan masyarakatnya. Bukan membodohi. Selalu mendorong dan menguatkan peningkatan Sumber Daya Manusia yang handal dan berkualitas. Untuk itu seorang pemimpin harus memiliki kecerdasan yang unggul dibandingkan dengan masyarakat yang dipimpinnya. Jangan sampai masyarakat yang dipimpin lebih cerdas daripada pemimpinnya. Jika hal itu terjadi, maka akan menjadi petaka bagi sebuah daerah.
Ketiga, Pembangunan kemandirian sosial. Seorang pemimpin harus mampu menciptakan kemandirian masyarakat. Terdistribusinya paket-paket infrastruktur penunjang kegiatan ekonomi masyarakat secara merata. Penguatan usaha-usaha ekonomi masyarakat. Sehingga masyarakat menjadi berdaya dan tidak bergantung lagi seutuhnya pada pemerintah. Pembangunan sektor-sektor ekonomi baik dari sisi infrastruktur maupun sisi keberdayaan sosial harus benar-benar sejalan. Pemimpin harus memastikan bahwa masyarakatnya sudah mandiri. Dalam hal ini, sudah terpenuhi sandang, pangan, dan papan serta pendidikannya.

Keempat, Pembangunan Masyarakat yang berbudaya. Di tengah laju arus modernitas yang begitu deras, Seorang pemimpin harus mampu menggerakkan masyarakatnya untuk membangun budaya-budaya lokal secara arif dan bijaksana. Seorang pemimpin harus menghargai dan menjaga keluhuran budayanya. Bahkan menampilkan kearifan budayanya dimanapun dia berada. Baik itu secara simbolik maupun secara attitude. Peradaban itu lahir dari kebudayaan. Dan kebudayaan merupakan ciri khas yang melekat pada sebuah daerah. Untuk itulah seorang pemimpin harus mampu menjaga dan melestarikan keluhuran budayanya. Serta menggerakkan masyarakat untuk menjaga tatanan budaya yang melekat di daerahnya. Ini akan menjadi sebuah perlawanan budaya di tengah hegemoni budaya modern. Karena budaya lokal merupakan sebuah perisai yang akan menjaga daerah kita dari intervensi budaya asing.

Alhasil, kita membutuhkan pemimpin nyata yang visioner dan menggerakkan bukan sekedar “pemimpi”.  Menggerakkan seluruh satuan kerja kepemimpinannya untuk memastikan masyarakatnya sejahtera. Sejahtera dari aspek lahiriah maupun aspek bathiniah.***


Penulis adalah LA ASRI
(Ketua DPC Persaudaraan Mitra Tani Nelayan Indonesia Kabupaten Buton)

No comments:

Post a Comment

Bottom Ad [Post Page]

| Designed by Colorlib