"PEMIMPIN NYATA, BUKAN PEMIMPI"
FOTO : LA ASRI BERSAMA ISTRI |
"Seperti apa pemimpin-pemimpin yang kita harapkan itu?
Pemimpin yang diharapkan itu harus mampu menyelaraskan pembangunan antara aspek lahiriah dan aspek bathiniah. Sehingga terjadi keseimbangan antara fisik dan bathin, dunia dan akhirat. Untuk Bisa menyelaraskan keduanya maka pembangunan harus secara jelas dan nyata di gerakkan untuk memenuhi kedua aspek ini. Tegasnya, seorang pemimpin harus menggerakkan pembangunan berbagai dimensi kehidupan sosial".
Cerita berlanjut, Semua masalah yang dialami bangsaku
tak mampu kutuliskan seutuhnya. Namun ku mencoba mengambil beberapa sampel
permasalahan yang paling membebani bangsaku. Salah satunya yang lebih riskan
adalah masalah kepemimpinan. Pemimpin kita khususnya di daerah-daerah, dewasa
ini mengalami krisis kepercayaan sekaligus tak punya visi mencerdaskan dan
memanusiakan manusia. Mereka hanya memikirkan paket kesejahteraan fisik yang
tak berujung.
Semua paket hanya ditujukan untuk membangun kesejahteraan
material. Orientasinya menumpuk harta kekayaan dengan menguras semua sumber
daya alam kita. Bukan mendistribusikan secara merata. Padahal keadaan negara
semakin memburuk. Negara memiliki utang yang maha dahsyat. Seperti dikutip dari laman BI.go.id, Jakarta Selasa
(17/5/2016) Utang Luar Negeri Indonesia yang dicatat oleh Bank Indonesia pada
akhir kuartal I-2016 sebesar USD316,0 Miliar atau sebesar 4.205, 96 Triliun
Rupiah (13. 310 per USD). Utang ini akan semakin bertambah kalau perilaku
pemimpin-pemimpin masih saja seperti ini. Jika 514 Pemimpin daerah di Kabupaten/Kota,
dan 34 Pemimpin di Propinsi berperilaku layaknya seorang penguras kekayaan
negara. Maka diperkirakan Kekayaan kita akan habis dan tak mampu membayar utang
negara. Pada akhirnya generasi bangsa
yang belum lahir pun ikut menanggung utang negara.
Padahal sebuah negara atau sebuah daerah akan makmur
kalau saja pemimpin-pemimpinnya mau mendistribusikan kemakmuran di
tengah-tengah masyarakatnya. Bukan sekedar mendistribusikan janji-janji
kemakmuran. Masyarakat kita sudah kenyang dengan janji sehingga tak pernah
merasakan nikmatnya sebuah kemakmuran. Lebih ironisnya Hampir semua
pemimpin-pemimpin kita mengklaim kami telah sukses membangun paket-paket
kesejahteraan. Namun semua itu adalah
bangunan mimpi kesejahteraan.
Rasanya kita hanya sejahtera dalam lamunan.
Karena tolak ukur kesejahteraan yang sering menjadi jargon para pemimpin kita
hanya sebatas mimpi belaka. Misalnya Kalau di Wakatobi kita kenal Surga Nyata
di Bawah Laut. Namun sebagian besar masyarakatnya mengatakan kalau di Laut
terdapat kenikmatan Surga maka di daratannya neraka. Ini sepenggal cerita yang
sering didengung-dengungkan sebagian besar masyarakat Wakatobi. Di Kota Kendari
kita kenal dengan Kota Bertakwa. Namun kenyataannya tak demikian. Didalam
Kota justru bertebaran Tempat Hiburan Malam (THM). Begitu pula di daerah-daerah
lain. Ini semua menunjukkan bahwa visi yang begitu mulia dari pemimpin-pemimpin
kita tak selaras dengan kenyataannya.
Butuh Pemimpin
Nyata - Visioner dan Menggerakkan
Mengurai permasalahan kepemimpinan tak akan pernah
berakhir. Apalagi pemimpin yang di lahirkan di alam demokrasi ini. Banyak
faktor yang menjadi penentunya. Kadang kita diperhadapkan pada sebuah dilema. Kita
tak hanya sekedar butuh pemimpin yang ideal tapi kita juga mestinya menjadi pemilih
yang ideal. Pemilih yang ideal itu adalah pemilih yang mampu menentukan dan
memastikan pilihannya secara sadar pada pemimpin yang ideal. Meskipun sulit
untuk melihat dan menemukan pemimpin yang ideal di alam demokrasi ini. Tapi
kita selalu berikhtiar di tengah hiruk pikuk demokrasi ini. Akan muncul
pemimpin-pemimpin yang mendekati harapan kita. Seperti apa pemimpin-pemimpin
yang kita harapkan itu?
Pemimpin yang diharapkan itu harus mampu menyelaraskan
pembangunan antara aspek lahiriah dan aspek bathiniah. Sehingga terjadi
keseimbangan antara fisik dan bathin, dunia dan akhirat. Untuk Bisa menyelaraskan
keduanya maka pembangunan harus secara jelas dan nyata di gerakkan untuk
memenuhi kedua aspek ini. Tegasnya, seorang pemimpin harus menggerakkan pembangunan
berbagai dimensi kehidupan sosial, diantaranya:
Pertama, Pembangunan religiusitas Sosial. Pembangunan ini ditekankan pada aspek pembentukan mental dan karakter masyarakat yang religius. Untuk bisa membangun mental yang sehat dan karakter masyarakat yang religius maka pemimpin itu harus lebih dulu melaksanakannya. Sehingga pemimpin akan menjadi teladan bagi masyarakatnya.
Kedua, Pembangunan kecerdasan sosial. Seorang pemimpin harus mampu mecerdaskan masyarakatnya. Bukan membodohi. Selalu mendorong dan menguatkan peningkatan Sumber Daya Manusia yang handal dan berkualitas. Untuk itu seorang pemimpin harus memiliki kecerdasan yang unggul dibandingkan dengan masyarakat yang dipimpinnya. Jangan sampai masyarakat yang dipimpin lebih cerdas daripada pemimpinnya. Jika hal itu terjadi, maka akan menjadi petaka bagi sebuah daerah.
Ketiga, Pembangunan kemandirian sosial. Seorang pemimpin harus mampu menciptakan kemandirian masyarakat. Terdistribusinya paket-paket infrastruktur penunjang kegiatan ekonomi masyarakat secara merata. Penguatan usaha-usaha ekonomi masyarakat. Sehingga masyarakat menjadi berdaya dan tidak bergantung lagi seutuhnya pada pemerintah. Pembangunan sektor-sektor ekonomi baik dari sisi infrastruktur maupun sisi keberdayaan sosial harus benar-benar sejalan. Pemimpin harus memastikan bahwa masyarakatnya sudah mandiri. Dalam hal ini, sudah terpenuhi sandang, pangan, dan papan serta pendidikannya.
Keempat, Pembangunan Masyarakat yang berbudaya. Di tengah laju arus modernitas yang begitu deras, Seorang pemimpin harus mampu menggerakkan masyarakatnya untuk membangun budaya-budaya lokal secara arif dan bijaksana. Seorang pemimpin harus menghargai dan menjaga keluhuran budayanya. Bahkan menampilkan kearifan budayanya dimanapun dia berada. Baik itu secara simbolik maupun secara attitude. Peradaban itu lahir dari kebudayaan. Dan kebudayaan merupakan ciri khas yang melekat pada sebuah daerah. Untuk itulah seorang pemimpin harus mampu menjaga dan melestarikan keluhuran budayanya. Serta menggerakkan masyarakat untuk menjaga tatanan budaya yang melekat di daerahnya. Ini akan menjadi sebuah perlawanan budaya di tengah hegemoni budaya modern. Karena budaya lokal merupakan sebuah perisai yang akan menjaga daerah kita dari intervensi budaya asing.
Alhasil, kita membutuhkan pemimpin nyata yang visioner
dan menggerakkan bukan sekedar pemimpi.
Menggerakkan seluruh satuan kerja kepemimpinannya untuk memastikan
masyarakatnya sejahtera. Sejahtera dari aspek lahiriah maupun aspek
bathiniah.***
Penulis adalah LA ASRI
(Ketua DPC Persaudaraan Mitra Tani Nelayan Indonesia Kabupaten Buton)
No comments:
Post a Comment